Meurukoen: Warisan Seni Budaya Aceh Terancam Punah

Oleh: Juwaini Husen

Foto: Juwaini Husen

BIREUEN,REAKSINEWD.ID | Dulu, di malam-malam selepas I'sya, suara lantunan syair berirama khas membelah sunyi di pelosok-pelosok Aceh. Berkelompok dalam balutan busana sederhana, para Syekhona (syekh) dan murid-muridnya berkumpul di meunasah atau balai gampong. Mereka tidak sekadar bernyanyi—mereka bertanya dan menjawab, bersyair dan meneguhkan iman, dalam satu tradisi yang dikenal sebagai Meurukoen atau Rukoen.

Meurukon merupakan satu diantara ribuan seni dan budaya tradisional Aceh yang diperagakan melalui syair dalam bentuk dialogis dan bersajak untuk menyampaikan syiar ajaran Islam, hukum-hukum Islam, dan nilai-nilai moral kepada masyarakat. 

Kini, pemandangan itu kian langka. Di tengah arus modernisasi dan derasnya teknologi digital, Rukoen perlahan menghilang dari pentas budaya Aceh.

Jejak Tradisi Syiar Islam

Rukoen merupakan satu dari sekian banyak seni budaya Aceh yang berakar kuat pada syiar Islam. Melalui bentuk tanya jawab dalam syair berbahasa Aceh, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat, terutama generasi muda. Dipimpin oleh seorang Syekhona, setiap grup Rukoen terdiri dari beberapa anggota yang saling bersahutan dalam syair yang mengupas hukum-hukum Islam, sejarah Nabi, hingga adab dan akhlak.

Uniknya, setiap sesi Rukoen menampilkan dua grup yang saling berhadapan. Salah satu grup melontarkan pertanyaan berbentuk syair, yang kemudian harus dijawab oleh grup lawan dengan syair pula. Jika lawan gagal menjawab, grup penanya berhak memberikan jawaban, sembari memperlihatkan penguasaan ilmu keislaman mereka.

Lebih dari sekadar hiburan, Rukoen menjadi media edukasi agama yang populer di Aceh, terutama sepanjang dekade 1970-an hingga 1980-an. Ajang ini diperlombakan mulai dari tingkat gampong (desa) hingga ke tingkat provinsi. Tak jarang, Rukoen menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan hari-hari besar Islam maupun acara nasional.

"Rukoen itu seperti kuliah terbuka untuk rakyat," ujar Tengku Hasan, seorang budayawan Aceh, mengenang masa kejayaan Rukoen.

Memudar di Tengah Perubahan Zaman

Namun, pasca konflik berkepanjangan di Aceh pada akhir abad ke-20, geliat Meurukoen mengalami penurunan drastis. Situasi keamanan yang tidak kondusif, pembatasan jam malam, serta trauma sosial menyebabkan banyak aktivitas budaya tradisional—termasuk Rukoen—terhenti. Generasi baru tumbuh tanpa sempat mewarisi tradisi ini sepenuhnya.

Selain itu, derasnya arus hiburan modern dan digitalisasi turut mempercepat hilangnya minat terhadap seni budaya berbasis syiar agama. Banyak anak muda Aceh kini lebih akrab dengan musik pop, media sosial, dan budaya global ketimbang tradisi lokal.

"Matee aneuk meupat jeurat, matee adat, hoe tamita," kata pepatah Aceh. "Mati anak ada kuburannya, mati adat ke mana dicari?"

Kalimat bijak ini terasa sangat relevan. Rukoen, sebagai bagian dari identitas dan syiar Aceh, kini berada di ambang kepunahan.

Upaya Pelestarian: Jalan yang Masih Panjang

Beberapa komunitas budaya dan ulama muda di Aceh masih berusaha membangkitkan Rukoen melalui festival budaya, workshop, hingga integrasi dalam pelajaran ekstrakurikuler di madrasah. Namun upaya ini belum sepenuhnya mampu membalikkan keadaan. Diperlukan strategi pelestarian yang lebih komprehensif, termasuk dukungan penuh dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan tokoh-tokoh masyarakat.

Sebagaimana banyak warisan budaya lainnya, mempertahankan Rukoen bukan sekadar menjaga sebuah bentuk kesenian. Ia adalah bagian dari jiwa Aceh itu sendiri—sebuah jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan negeri yang dikenal sebagai Serambi Mekkah.

Di tengah deru perubahan, akankah gema syair Rukoen kembali mengalun di malam-malam se-antero Aceh?

Bireuen, Aceh
27 April 2025
Juwaini Husen
Pengamat Seni Budaya Aceh

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak