JAKARTA,RESKSINEWS.ID | Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Badan Anti Korupsi Nasional (LSM BAKORNAS), Hermanto, S.Pd.K., S.H., CPS., CLS., CNS., CHL mengatakan bahwa di Indonesia masih sangat banyak dan masih sangat marak praktik – praktik korupsi dalam penggunaan anggaran perjalanan dinas atau penggunaan anggaran untuk perjalanan dinas fiktif.
Ia menyebut sebagaimana yang diketahui publik beberapa diantaranya yaitu;
Kasus Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif di Riau yang ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau pada awal tahun 2025.
Kasus Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif di Labuhanbatu yang ditangani oleh Polres Labuhanbatu pada tahun 2022.
Kasus korupsi dana perjalanan dinas fiktif senilai Rp2,3 miliar oleh Kepala Dinas Pendidikan Riau pada tahun 2024.
Kasus Korupsi Perjalanan Dinas pada Tujuh SKPD Pemkot Bontang Dengan Total Kerugian Sebesar Rp77.714.679,00 pada tahun 2024.
Hermanto menyebut sangat banyak dan masih sangat marak Kasus Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif yang terjadi di Indonesia termasuk kasus kasus korupsi perjalanan dinas fiktif DPRD yang terjadi di banyak daerah di negeri ini, katanya.
Hermanto mengatakan, Korupsi perjalanan dinas adalah tindak pidana yang merugikan negara karena penggelapan anggaran perjalanan dinas.
Ia mengungkapkan Banyak ASN atau pejabat publik yang berpikir, selama dokumen pertanggung jawaban atas perjalanan dinas sudah lengkap dan sesuai prosedur, maka gugurlah indikasi kerugian keuangan negara. Padahal aspek efisiensi penggunaan anggaran perlu ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas, bukan sekedar pemenuhan administrasi belaka, ungkap Hermanto, Minggu (6 April 2025).
Terkadang, perjalanan dinas ke daerah/lokasi tertentu tidak didasarkan alasan yang cukup sesuai dengan program kerja instansi pemerintah. Bahkan, sudah menjadi maklum ketika agenda mudik oknum ASN maupun pejabat publik atau menghadiri pernikahan rekan kerja sesama oknum ASN di kampung halaman dibungkus dengan kemasan perjalanan dinas.
Pegiat anti korupsi itu menyebut, Beberapa rapat instansi pemerintah yang dilaksanakan di hotel seringkali terlihat hanya judul kegiatannya saja yang masih terpampang di display ruang rapat hotel, sementara peserta rapatnya - para ASN atau pejabat publik, sudah 'balik kanan' lebih awal karena rapat telah selesai satu hari sebelumnya.
Inefisiensi lainnya muncul dalam penentuan jumlah peserta perjalanan dinas. Masih ada oknum ASN yang hanya kebagian tugas 'jalan-jalan' ketika perjalanan dinas.
Ditambah lagi, durasi perjalanan dinas yang diatur selesai lebih cepat supaya ada waktu bagi ASN untuk berwisata, mengunjungi keluarga, dan bahkan untuk kegiatan yang samasekali tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi kedinasan, pungkas Hermanto
Ketua umum BAKORNAS menilai bahwa fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin Indonesia bisa bebas dari korupsi, jika perkara korupsi perjalanan dinas masih dianggap hal yang sepele. ASN atau pejabat publik seharusnya yang menjadi garda terdepan dalam pencegahan korupsi.
Menyikapi hal ini BAKORNAS mengajak seluruh lapisan masyarakat, mari kita turut mengawasi implementasi program dan kinerja instansi pemerintah. Kritik dan peringatan terhadap penyimpangan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi. Untuk mencapai kondisi tersebut, pencegahan korupsi bisa dimulai dari pelaksanaan perjalanan dinas dan rapat di luar kantor yang efisien, sahut Hermanto
Hermanto menyebut bahwa Korupsi atau perjalanan dinas fiktif merupakan Penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan Dinas dengan sebuah alasan melaksanakan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) terkadang sering menimbulkan laporan pertanggungjawaban fiktif sehingga tidak sedikit keuangan Negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena melekat kewenangan dari yang bersangkutan yang berhubungan dengan perintah tugas dalam melakukan perjalanan Dinas yang berhubungan dengan bidang tugas dan jabatannya.
Namun dalam fakta yang ada Surat Perintah Perjalanan Dinas tersebut lebih banyak melibatkan para pejabat dan beberapa diantaranya ada juga melibatkan pegawai golongan rendah atau bawahan. Keterlibatan pegawai golongan rendah atau bawahan dalam kaitannya dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak terlepas dari tugas bawahan yang menyiapkan biaya perjalanan dinas dalam hal ini bendahara pengeluaran, menyiapkan surat perintah membayar, menyiapkan surat perintah tugas (SPT), menyiapkan dokumen pertanggungjawaban berupa boarding pas dan lain-lain.
Maka akuntabel dan kewajarannya, terhadap anggaran perjalanan dinas perlu diketahui masyarakat luas dan tindak lanjut dari seluruh pihak baik lembaga pengawas maupun lembaga penegak hukum.
Hermanto mengeaskan bahwa Penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UUPTPK yang menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00,-( satu miliar rupiah)”.
Perlu saya tegaskan, kata Ketua Umum BAKORNAS itu, bahwa adanya Pengembalian kerugian negara yang diakibatkan perjalanan dinas fiktif hal itu tidak mengurangi pidananya, karena telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan upaya perbuatan melawan hukum, yaitu penggunaan anggaran yang fiktif. Seandainya tidak ketahuan tentu pengembalian tersebut tidak terjadi.
Maka penegakan hukum bukan saja fokus pada nilai dan nominal kerugian atau pengembalian, melainkan juga pada aspek penyalahgunaan wewenang, upaya perbuatan melawan hukum, dan telah terjadinya penyimpangan seperti LPJ fiktif, alokasi dana yang tidak pada seharusnya, tutup Hermanto.(Ril)