DEEP LEARNING: Inspirasi dan Refleksi Sejarah Sekolah Rakyat

Oleh: Hasan Basri


Foto: Hasan Basri.,S.Pd., MM

BIREUEN,REAKSINEWS.ID | Ketika Syamsir Alam, seorang pendidik muda, mengeluhkan tantangan penerapan Deep Learning atau pembelajaran mendalam di ruang-ruang kelas masa kini, seketika memori saya melayang jauh ke masa lalu. Sebuah masa di mana kesederhanaan ruang kelas tak pernah menghalangi kedalaman proses belajar. Sebuah masa yang memberi kita cerminan bahwa pendidikan yang bermakna bukanlah produk teknologi, melainkan hasil dari ketulusan niat dan kemurnian visi para guru dalam mencerdaskan bangsa.

Meski istilah deep learning baru populer di era digital, sejatinya konsep ini telah lama hadir—diam-diam tumbuh dalam tradisi pendidikan Indonesia sejak zaman Sekolah Rakyat (SR). Pada masa awal kemerdekaan, para guru, yang sebagian besar belum tersentuh pelatihan formal, telah mempraktikkan pembelajaran yang holistik dan berpusat pada siswa, tanpa label akademis yang kompleks. Mereka mengajarkan dengan hati, membimbing dengan teladan, dan mendidik dengan nilai-nilai luhur yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Menyeimbangkan Ilmu dan Karakter

Salah satu ciri khas pendidikan di era SR adalah pembagian waktu belajar yang bijaksana. Pagi hari difokuskan pada penguasaan literasi dasar—membaca, menulis, dan berhitung—sementara siang hari dimanfaatkan untuk pelajaran agama, moral, dan pembentukan karakter. Ini bukan sekadar pengaturan jadwal, melainkan wujud dari kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara pengetahuan dan kepribadian.

Para guru masa itu, dengan keterbatasan fasilitas dan minimnya sumber daya, tetap mampu menjalin hubungan emosional yang erat dengan murid. Mereka menjadi sosok teladan yang tidak hanya ditakuti karena disiplin, tetapi dikagumi karena ketulusan. Mengajar bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa untuk menerangi generasi.

Semangat belajar pun tak kalah kuat. Murid datang ke sekolah dengan semangat membara, membawa serta rasa hormat yang tinggi kepada guru. Lingkungan belajar yang terbentuk pun kondusif, penuh dengan nuansa kekeluargaan dan rasa tanggung jawab.

Dilema Evaluasi dan Pengukuran

Namun, di balik keberhasilan pendekatan intuitif tersebut, sistem evaluasi pembelajaran pada masa itu belum mampu menangkap kompleksitas deep learning secara menyeluruh. Penilaian masih bersifat dasar dan terbatas pada kemampuan reproduksi pengetahuan. Belum ada alat ukur yang mampu menjangkau aspek berpikir kritis, kemampuan analitis, atau penerapan pengetahuan dalam konteks nyata.

Kini, ketika teknologi dan metodologi pendidikan berkembang pesat, tantangan evaluasi tersebut mulai teratasi. Guru dapat mengakses berbagai instrumen evaluatif: mulai dari asesmen formatif hingga sumatif, penilaian berbasis kinerja, portofolio siswa, dan observasi kelas yang terstruktur. Bahkan, data analitik dan survei kini membantu menggambarkan peta pemahaman siswa secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Menjembatani Kearifan Masa Lalu dan Inovasi Masa Kini

Pengalaman dan kebijaksanaan para guru Sekolah Rakyat bukanlah sekadar catatan sejarah. Ia adalah warisan pedagogis yang relevan untuk pendidikan masa kini dan masa depan. Intuisi mereka dalam memadukan dimensi kognitif dan afektif adalah landasan penting bagi pendidikan abad ke-21 yang menekankan social-emotional learning, pemikiran reflektif, dan pembelajaran kontekstual.

Tugas pendidik modern adalah menjembatani nilai-nilai luhur dari masa lalu dengan pendekatan ilmiah masa kini. Pembelajaran mendalam harus menjadi upaya berkelanjutan yang menyentuh tiga ranah utama pendidikan: pengetahuan, karakter, dan kebijaksanaan.

Deep learning bukanlah sekadar teknik mengajar, melainkan cara pandang yang melihat siswa sebagai manusia utuh. Ketika siswa memahami bukan hanya "apa", tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana", ketika mereka mampu mengaitkan pelajaran dengan nilai hidup dan realitas sosial, maka pada saat itulah pendidikan mencapai hakikatnya.

Mewujudkan pembelajaran semacam ini memang bukan perkara mudah. Tetapi jika para guru di masa lalu bisa melakukannya dengan segala keterbatasan, bukankah kita—dengan segala kemajuan hari ini—justru memiliki lebih banyak alasan untuk melanjutkan semangat itu?

Bireuen, Aceh
16 April 2025
Hasan Basri.,S.Pd., MM  Pengamat Pendidikan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak