Performa Strategis Insan Pers dan Buruh Dibalik Pemilu 2024 Indonesia

Foto: Jacob Ereste (30/9)

OPINI | Peran media sosial berbasis internet semakin nyata sangat efektif dan efisien dalam penyajian informasi, publikasi dan komunikasi mulai dari peristiwa yang terjadi diujung pulau nun jauh disana, sampai peristiwa atau kejadian yang ada di kebisingan kota yang hiruk pikuk di tengah kehidupan warganya yang berpacu dengan waktu.

Jaringan internet yang tersedia bisa segera menghantar kabar, berita dan cerita yang dapat segera diketahui oleh warga masyarakat di ujung dunia sekalipun. Gusti Ratu pun dapat mengikuti gerak perkembangan terkini di tanah air dari Negeri Turki yang jaih lebih sibuk lalu lintas komunikasinya dengan benua lain. Semua geliat aktivitas yang nyaris tiada batas bisa diberitakan, diinformadikan dan dikomunikasikan kepada mereka yang dianggap perlu. 

Apalagi hanya sekedar ingin memperkenalkan atau untuk lebih mendekatkan calon kandidat anggota legislatif  atau bahkan calon eksekutif yang ingin dipromosikan kepada warga masyarakat yang menjadi daerah konstituen yang diharap dapat menjadi pendukung sekaligus  memberikan suara kepada yang bersangkutan.  

Karena itu, menjelang Pemilu tahun 2024 ini pun seakan menjadi masa panen media sosial yang memang murah meriah untuk dijadikan ujung tombak penerobos massa pemilih yang sedang diperebutkan oleh semua kandidat calon legislatif maupun calon eksekutif dari berbagai level dan jenjang agar dapat tampil sebagai pemenang yang meraih suara terbanyak dalam Pemilu dari daerah tersebut.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana media sosial sendiri yang berbasis internet ini bisa tampil dengan 'Performa' strategis yang lebih meyakinkan, sehingga para kompetitor memberi kepercayaan penuh untuk menjadi mediator pembungkus ide, gagasan serta misi dan visinya yang hendak disuguhkan kepada warga masyarakat setempat agar berkenan memberi dukungan dan suara pilihannya dengan kesadaran dan keikhlasan.

Performa Strategis Insan Pers dan Buruh  secara langsung dirasakan dalam tahapan perjalanan pesta demokrasi," 
Dibalik Pemilu Tahun 2024 di Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sebagai media sosial yang patut bersikap netral, pakemnya adalah tetap kukuh berpegang pada obyektifitas dan kejujuran, hingga tidak perlu ragu melakukan yang terbaik bagi kandidat yang menjadi andalan untuk memenangkan kompetisi dalam Pemilu yang harus sehat, jujur serta sportif dalam menghadapi para pesaing yang ikut bertarung. Sebab Pemilu itu bagi rakyat bukan cuma untuk menang, tetapi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang terbaik bagi rakyat. Jadi soalnya bukan lagi  harus berpikir menang atau kalah.

Jadi, selama media massa jenis apapun yang berada di pihak seberang, tidak juga patut dianggap sebagai lawan apalagi musuh. Mereka pun harus dipercayai sedang mencari yang terbaik dari yang terbaik untuk rakyat. 

"Cilakanya memang, kalau posisi kita bersama rakyat berada pada keterpaksaan untuk memilih yang terbaik dari semua pilihan yang buruk. 

Meski begitu, bukan pula serangan harus tetap dilakukan walau dengan cara  terselubung seperti insinuasi tetap tidak lebih elegan untuk dihindari. Karena toh, keberpihakan yang sementara ini kelak akan berakhir juga. Sementara sebagai pekerja pers, pada akhirnya nanti akan kembali ke habitat kerjaya semula dan tentunya bakal bertemu dengan kawan seprofesi yang bekerja di tempat lain, namun tetap berada di habitat yang sama.

Posisi strategis kaum buruh pun dalam Pemilu tahun 2024 tidak menjadi kalah penting dibanding keberadaan insan pers menuju Pemilu baik legislatif maupun eksekutif," Pemilu hanya  moment penting sekedar menentukan sikap kaum buruh membuktikan pilihan terbaik yang diidolakan memiliki komitmen dan keberpihakan pada kalangan buruh. 

Sebagai suatu kekuatan, kaum buruh Indonesia jelas  memiliki massa yang solid, sehingga daya kekuatan kaum buruh dapat menentukan pilihan terhadap sosok terbaik untuk mengusung aspirasi rakyat di masa depan. Karena itu, kaum buruh tidak bisa berjuang sendiri apalagi bila sampai tidak kompak untuk mengatasi beragam masalah yang harus dihadapi bersama oleh kaum buruh. 

Sementara partai buruh sendiri, belum cukup meyakinkan memiliki kekuatan yang diidolakan oleh kaum buruh hingga mampu memposisikan perjuang politik partai buruh bisa menjadi kekuatan  fenomenal di negeri kita. Sebab gambaran yang ideal tentang partai buruh yang selalu unggul di berbagai negara maju, sekedar sebatas idola saja. Karena belum bisa   dijadikan model yang dimodifikasi agar dapat selaras dengan iklim politik yang khas dan naib di negeri kita ini.

Agaknya, hanya dengan cara yang bijak ini profesi pekerja pers dapat dijaga bersama, seperti kaum buruh Indonesia yang bisa disebut nasibnya seperti istilah dahulu yang disebut setali tiga uang.

Artinya, posisi dan  keberadaa insan pers  seperti juga kaum buruh tidak perlu tampil seperti pembalap yang ingin lebih unggul dari kawan sprofesi yang lain. Sebab pengertian di atas langit masih ada langit, bisa dijadikan  kesadaran bahwa sejatinya perkawanan seprofesi itu akan bermuara pada persaudaraan yang sehati dan  akan saling membahagiakan.

Biarlah petuah politik tetap kukuh meyakini bahwa tiada kawan yang sejati, karena yang patut terpatri dan dikedepankan oleh kawan-kawan  buruh dan pers Indonesia saya kira, janganlah mengedepankan  kepentingan dan keuntungan, dalam pengertian yang cuma sesaat, utamanya dalam  kesempatan dan kekuasaan yang memabukkan, katena bukti  sudah cukup banyak membuat mereka yang kalap itu menjadi hilaf.

Karena sumber kekuatan pekerja pers itu adalah moralitas yang tersemburat dari jiwa atau roh dalam ekspresi spiritual yang menghembuskan nilai-nilai etika dan moral dalam kemasan utuh yang bisa disebut akhkakul karimah. Itulah sebabnya pula, pers dapat dipahami sebagai pilar keempat dari tatanan demokrasi atau pun tatanan pemerintahan yang baik dan benar untuk menunaikan amanah mulianya dari rakyat. Sebab suara rakyat pun tetap diyakini  sebagai bagian dari suara Tuhan.

Setidaknya, dalam keyakinan Islam, do'a dari 40 orang yang dilakukan dengan khusuk akan dikabulkan oleh Allah SWT. Jadi, atas dasar etika, moral dan akhlak yang mulia inilah, pekerja pers menekuni karier dari pekerjaannya itu yang terbaik hanya dengan laku spiritual, hingga relatif dekat dengan Tuhan. Maka itu, sungguh menjadi tidak rasional bagi seorang jurnalis sejati yang tega mengorbankan kemuliaan profesi  pekerjaannya hanya karena ikatan kerja yang cuma bersifat sementara dengan mereka yang berada pada bilik lain.

Fenomena dari pekerja pers yang tampak berada dalam barisan pendukung seorang calon kandidat -- dari legislatif maupun eksekutif -- pada tahun politik menjelang Pemilu 2024, wajar-wajar saja dikakukan. Meski tidak sedikit diantara mereka yang terkesan kampungan, persis seperti kaum buruh yang tidak percaya dengan partai buruh. Akibatnya, mereka diam-diam memberikan pilihan dengan cara mereka sendiri. Meski tak sedikit diantara mereka pun yang melakukan secara sembunyi-sembunyi. 

Yang penting, menurut saya masih tetap memahami adanya batas-batas etika yang tetap dipatuhi. Sebab tuntunan moral tidaklah elok  dilanggar. Karena yang utama harus bisa ditakar oleh akhlak mulia yang telah tetap menjadi keyakinan dari diri kita masing-masing.


Jacob Ereste
BANTEN, 30 September 2023

Paparan sederhana ini merupakan materi  pengantar Forum Diskusi Insan Pers Bersama Komunitas Buruh Tengerang dan Banten yang diselenggarakan Atlantika Institut di Tangerang, 30 September 2023.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak