Kapuspenkum Kejagung RI: Restorative Justice, Kewenangan Jaksa Dari UU

Foto: Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejagung RI (18/1)

JAKARTA | Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung RI), Ketut Sumedana mengklarifikasi soal isu yang berkembang mengenai restorative justice. 

Restorative justice atau keadilan restorative merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada jaksa dan bukan sebuah program. 

Berkembang Informasi seakan-akan keadilan restoratif program kejaksaan yang tidak ada dasar hukum yang jelas, kata Kapuspenkum Kejagung RI meluruskan.

"Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik, Ketut menjelaskan, Rabu (18/1).

Lanjutnya, Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.

"Selain itu juga ditegaskan dalam Pasal 34A yaitu “untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan / atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik, terang Ketut

Dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah, adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana.

Kejaksaan mengapresiasi terhadap kritik dan saran pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) di setiap daerah dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan pada setiap pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) di daerah. 

"Diharapkan jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan, serta mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan, imbuhnya 

Sekiranya laporan tersebut mengandung kebenaran, maka pasti akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan si pelakunya. Sebab penegakan hukum humanis yang ditunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan. 

Dikarenakan." Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat, mengurangi resistensi,  serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, selain dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum. 

Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif (restorative justice) harus dijaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis, ungkapnya

Disebutkan Ketut, penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat. 

Terutamanya, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat. 

Klarifikasi disampaikan Kejagung setelah muncul pemberitaan berbagai media tentang adanya praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), 

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung perlu memberikan klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) demi penegakan hukum humanis tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan.(Red)

Reaksinews.id

Merupakan Editor dan Penulis di Portal Situs berita Online reaksinews.id yang berkantor di Bireuen di bawah PT. REAKSI MEDIA PRATAMA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak