Persidangan kasus pembunuhan Brigadir Joshua semakin hari menunjukkan eskalasi dan tensi meninggi.
Bagaimana tidak, fakta yang luput dari perhatian publik muncul dalam even persidangan yang menampilkan kesan bahwa 2 hari menjelang pembunuhan Joshua itu tidak tampak masalah bahkan begitu hangat hubungan degan para ajudan.
“Moment anniversarry seolah memberi sinyal kuat Ferdy Sambo dan Putri Candrawati adalah pribadi yang baik dan bukan pribadi yang bermasalah. Jauh dari sangkaan perilaku jahat apalagi misi perencanaan pembunuhan,” ungkap Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin 1964), Firman Wijaya, Jakarta, Kamis (10/11).
Firman lantas mempertanyakan siapa sesungguhnya yang punya pribadi bermasalah di balik kasus yang menyita banyak perhatian publik ini.
Menurutnya, situasi ini tentu menimbulkan dua fakta dilematis yang memerlukan konsentrasi arus pikir dan pembobotan terlepas keberpihakan dan simpati kepada dua peristiwa, yakni dugaan peristiwa pelecehan seksual yang berdampak traumatis dan juga peristiwa pembunuhan yang punya efek jauh lebih traumatis.
“Dugaan trauma psikologis bagi korban Putri isteri terdakwa menimbulkan efek guncangan emosional sedemikian rupa seolah menjustifikasi yang memicu aksi penembakan terhadap Joshua,” jelas Firman.
Justifikasi logika pelecehan seksual memicu stimulasi reaksi tindakan emosional penembakan tersebut dalam waktu demikian singkat dan dramatis.
“Dan spontanitas dengan alasan karakter terduga pelaku pelecehan seksual sangat berbahaya karena ditengarai memiliki kepribadian ganda,” ujarnya.
Dugaan kepribadian bermasalah terduga pelaku pelecehan seksual sepertinya berawal dari upaya pengacara terdakwa Sambo yang melakukan penelusuran historis disharmoni keluarga Joshua dan meyakini sepertinya ada relasi dan potensi bias kepribadian pada diri Joshua.
Pada wilayah ini, sangat diperlukan kelogisan dan pembuktian yang meyakinkan (scientific evidence based) dan tidak boleh sedikitpun ada keraguan apalagi fakta spekulatif, menurut Firman.
Dikatakan Firman " Teoritisnya, kepribadian ganda secara sederhana dimaknai sebagai kondisi normal menuju abnormal. Kondisi ramah tiba-tiba berubah amarah (multiple personality) terkesan sikap antagonistis dalam satu kepribadian.
“Kerterbelahan sikap dan kepribadian dari ramah kemudian berubah cepat menjadi sejuta amarah dan sama sekali tidak menunjukkan reaksi agresif,” paparnya.
Bagaimana agamana keyakinan hakim bekerja memastikan adanya problem kejiwaan tersebut apalagi terduga pelaku sadah meninggal dunia.
Pendekatan diagnostik dan pembedahan fakta-fakta dan saran harus dilakukan dengan memverifikasi peristiwa anniversary tersebut, apakah sekedar peristiwa selebrasi biasa atau dapat menjadi rujukan keyakinan hakim bahwa provokasi eksternal (info kebenaran pelecehan seksual) yang membuat nalar Ferdy Sambo terguncang dan mengambil pilihan sikap emosional dan bertindak brutal menghabisi nyawa Joshua, Firman menjelaskan.
“Dalam situasi dilematis ini, kita perlu menjauhkan hakim dari segala bentuk tendensi dengan mendorong hakim menakar validasi bukti-bukti yang tersedia. Court value hakim perlu bekerja secara alamiah dan ilmiah.
Ketentuan pasal 44 KUHP mengenai pemaknaan gangguan jiwa nampaknya secara uji teknis maupun psikologi klinis belum memiliki kesamaan metode dalam praktek pembuktian, apalagi memastikan hasil akhirnya.
“Ujungnya harus berpulang kepada bagaimana mengakhiri dinamika dan dimensi "gap filling" di antara persilangan kedua peristiwa antara pelecehan seksual dan pembunuhan disatu sisi dimensi kemanusiaan, sementara pada lain sisi dimensi hukum dan penghukuman,” cetusnya.
Lanjutnya, hakim masih memerlukan metode rights-wrong test kebenaran peristiwa dengan membangkitkan "memori ingatan" saksi-saksi untuk memastikan kebenaran ada tadaknya peristiwa pelecehan seksual.
“Apalagi karakter pribadi joshua yang memiliki delusi berat dengan ciri-ciri pelaku tenang, nampak normal, menarik namun manipulatif ataukah ini sekedar peristiwa asumtif saja yang tidak mungkin dibuktikan lagi karena terduga pelaku sulit membela diri karena sudah tiada,” tandasnya.
Namunpun demikian, kata Firman, setiap orang termasuk terdakwa berhak membela diri, termasuk apakah memang terdapat bagaimana niat itu diwujudkan dalam awal mula pelaksanaan delik itu terjadi berikut expresi perwujudan niatnya (commoncement d'excution ).
“Fakta yang penting untuk digali juga seperti apa tindakan persiapan (voorbreiding handeling) itu dirancang sejauh mana dalam hitungan waktu berjarak dengan eksekusi pelaksanaan. Apakah cukup panjang ataukah dalam hitungan cepat dan spontanitas (uitvoering handeling).
Bahwa rantai peristiwa sebagaimana diterangkan di atas dapat menguji kesahihan wujud unsur perencanaan pembunuhan, tegas Ketua Umun Peradin.(Red)