NTT | Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Nusa Tenggara Timur pada tanggal 24 Maret 2022, yang merupakan implementasi pemerintah untuk menekan pertumbuhan angka stunting di Indonesia merupakan angin segar bagi bangsa dan negara ini.
Bagaimana tidak, alasan presiden mengunjungi NTT ini karena Provinsi tersebut merupakan "lumbung stunting", dimana 48 dari 100 anak usia balita terpapar stunting. Ini merupakan hal yang sangat menyedihkan.
Kondisi inipun dijelaskan juga oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, bahwa kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, menunjukkan kepedulian dan komitmen dari Presiden dan pemerintah pusat akan penyelesaian persoalan
Langkah pemerintah juga terlihat cukup serius dan konsisten, ketika dalam rapat koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat di Istana Wakil Presidendi Jakarta pada tanggal 11 Mei 2022, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa angka prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 dapat turun, minimal mencapai 3 persen dibandingkan tahun 2021 yang berada di angka 24,4 persen.
Tidak hanya untuk Nusa Tenggara Timur, merupakan masalah nasional yang mempunyai potensi dalam menghambat kemajuan bangsa. Dalam spektrum yang sangat luas, <em>juga berpotensi sebagai objek olahan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan menguasai sumber daya milik bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Dilihat dari perspektif ancaman non-tradisional atau populer disebut <em>Asymmetric Warfare</em>, perang asimetris, stunting bisa menjadi modus operandi dalam melancarkan serangan melemahkan sumber daya manusia Indonesia secara umum, dan melemahkan potensi generasi muda anak-anak desa secara khusus dan dilihat dari segi kewilayahan yang merupakan lingkungan pemerintahan terkecil di negeri ini.
Dengan asumsi wilayah desa sebagai lingkungan terkecil yang juga ada di lingkungan masyarakat urban perkotaan yang biasa disebut Kelurahan, stunting tidak memandang kelas sosial ekonomi atau SES yang ada di kota besar.
Perilaku yang salah dalam menyikapi tumbuh kembang anakpun akan sangat berpengaruh terhadap gizi seorang anak, apalagi di 1000 hari pertama mereka. Ibu yang berada di wilayah kelurahan dalam lingkungan perkotaan dengan daya beli relatif tinggi sekalipun, dapat menyebabkan anaknya menderita stunting jika salah dalam menata asupan gizi anaknya.
Terkait masalah ini dibutuhkan kolaborasi yang memiliki konsep dan strategi yang mumpuni antara berbagai pihak yang bisa kita perkuat dalam konsep Triple Heli dimana Pemerintah, Institusi Pendidikan dan Sektor Usaha atau swasta saling terkait dalam sebuah integrated TV movement atau gerakan terpadu dalam upaya menekan pertumbuhan stunting, sekaligus merupakan strategi kontra-intelijen dalam mengantisipasi ancaman non-tradisional atau perang asimetris tersebut.
Pemerintah dalam hal ini pihak Kementerian maupun Badan yang memiliki nomenklatur relevan dengan masalah stunting harus menghasilkan Public Policy atau kebijakan Publik yang kompatibel dengan kondisi masyarakat sesuai realita yang ada, berdasarkan kontribusi dari Institusi Pendidikan yang memberi masukan berupa analisa akademik dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu, terkait masalah stunting.
Selanjutnya, pihak yang berada di ring sektor usaha atau swasta, merupakan mitra yang mengimplementasikannya secara profesional, termasuk dalam melakukan fund raising atau pengumpulan dana, karena gerakan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, meskipun pemerintah sendiri memiliki anggaran.
Harus dibangun sebuah konsep yang juga menguntungkan sektor usaha atau swasta yang akan mendukung dan berkontribusi, sehingga secara branding dan image building korporasi merekapun mendapat benefit sekaligus secara faktual memberikan solusi taktis, praktis, dan edukatif secara langsung di masyarakat.
Sebagai bagian dari bangsa ini, kita harus semakin peka melihat berbagai fenomena yang mengarah kepada gejala ancaman non-tradisional ini. Seribu persen kita yakin Indonesia tidak akan pernah diluluhlantakkan dengan dasar penguasaan ekonomi. Dengan adanya dampak perang Rusia - Ukraina yang masih pararel dengan situasi pandemi Covid-19 yang sudah cukup kisruh dengan berbagai wacana
"Membodohkan Masyarakat" melalui berbagai propaganda lewat medsos yang sudah tidak jelas lagi mana hoax mana berita yang benar tentang vaksin, kini mata dunia tertuju pada Indonesia dalam hal terkait urusan kebutuhan dasar dunia seperti pangan, minyak dan gas, mineral, berbagai bahan mentah dan lain sebagainya.
Pemahaman tersebut cukup jelas mengingatkan kita bahwa bangsa kita menjadi sasaran agar menjadi lengah, tidak merawat dan menjaga eksistensi sumber daya alamnya. Jalan yang paling mudah adalah melemahkan generasi anak bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin dan generasi yang meneruskan tongkat estafet kepemilikan bangsa dan negara ini.
Sehebat apapun sumber daya alam kita, canggihnya infrastruktur dan modernya teknologi yang kita miliki, tidak akan berarti apa-apa jika generasi mudanya memiliki dampak stunting dalam dirinya akan memberi kekurangan seperti fisik yang mudah lelah, mental yang lemah kemampuan nalar yang rendah, serta pemahaman spiritual yang payah. Mereka tidak akan mampu menjadi sosok anak bangsa yang bermartabat.
Mari kita bersama-sama saling mengingatkan, minimal kepada saudara di lingkungan terdekat kita agar kita secara kolektif membangun kesadaran memperbaiki gizi anak-anak dan generasi muda kita. Berorientasi kepada manfaat, bukan pada harga dan rasa. Pola hidup dan kedisiplinan dijaga, serta selalu siaga dan waspada. Musuh kita tidak bisa dilihat dengan kasat mata, namun bisa dirasa melalui adanya berbagai gejala dan fenomena.
Memerangi stunting secara masif, sama dengan kita berperang di medang perang melawan musuh di ranah Perang Asimetris. Mereka tidak akan pernah berhenti, dan selalu berganti dalam melancarkan strategi. Bangsa Indonesia harus bebas dari masalah stunting, jika ke depan ingin menjadi bangsa dan negara yang oleh dunia dianggap penting.
Penulis adalah Pemerhati Perang Asimetris. (Rils)