Pena Tirto dan Mas Marco Pengguncang Bumiputra Bangun Dari Tidurnya

JAKARTA | Marco Kartodikromo: Tokoh Jurnalis Zaman Pergerakan dari Blora (Studi Deskriptif Pemikiran dan Pergerakan Marco Kartodikromo dalam Pers Indonesia Masa Kolonialisme Hindia Belanda). 

Marco Kartodikromo adalah seorang tokoh pers pergerakan nasional yang menulis untuk berbagai surat kabar bumiputera. Tulisannya banyak menuangkan kritik kepada pemerintahan Hindia Belanda serta menanamkan kesadaraan nasional Indonesia. Marco adalah jurnalis Indonesia pertama yang mendirikan perkumpulan jurnalis bernama Indlandsce Journalisten Bond (IJB) pada 1914 dan mendirikan surat kabar Doenia Bergerak di tahun yang sama. Ia juga beberapa kali dipenjara oleh pemerintah karena tulisannya yang dianggap berani dan menentang kekuasaan kolonial.

Menggali lebih dalam terkait pemikiran dan tindakan Marco Kartodikromo selama berkiprah sebagai seorang jurnalis pada zaman pergerakan (1912-1926) melalui berbagai tulisannya yang tersebar di surat kabar. Dalam implikasinya dapat membantu memetakan perkembangan sejarah pers di Indonesia. Khususnya pada masa pergerakan. 

Hasil pendapat para tokoh Pers Di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan kuat menggunakan surat kabar sebagai media perlawanan terhadap praktik kolonialisme Hindia Belanda. 

Kesadaran Marco untuk melawan didapatkan dari pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan terpelajar, pengaruh organisasi, dan kedekatannya dengan literatur buku. Pada akhirnya, ia tidak hanya menjadi salah satu ikon tokoh pers zaman pergerakan, melainkan juga sebagai aktivis pergerakan itu sendiri.
Tirto Adhi Soerjo  dan Marco Kartodikromo Memiliki nama pena TAS, Tirto Adhi Soerjo dan benar-benar menggunakan pers sebagai senjata dalam memperjuangkan gerakan kesadaran berbangsa. 

Benar ada nama-nama lebih dahulu seperti Abdul Rivai, Wahidin Soediro Hoesodo, Rajiman Wedioningrat dan sejumlah nama lainnya. Namun, kerangka dan posisi mereka masih dari mereka (secara individu) untuk Bumiputra dan belum dari Bumiputra untuk Bumiputra.

“Berawal dari pengembaraan di tanah timur, terutama di Maluku kurun waktu 1905-1906, Tirto Adi Soerjo mulai mengais apa saja yang bisa digunakan untuk menerbitkan koran yang benar-benar berfungsi sebagai pengawal suara umum,” tulis Muhidin

M Dahlan dan Iswara N Raditya dalam buku Karya-karya Lengkap Tirto Adi Soerjo, Pers Pergerakan dan Kebangsaan yang terbit pada 2008.
Tirto kembali pada 1907 dengan semangat baru. Pada 1 Januari 1907 benar-benar menerbitkan koran Medan Prijaji  yang menjadi lembar pembela rakyat.

Semangat itu terbaca dari delapan azas pada halaman muka edisi perdana Media Prijaji, yang terhimpun sebagai jargonnya. Antara lain, memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan nasib dan memberikan bantuan hukum. Mas Marco Kartodikromo, jurnalis radikal didikan Tirto sekaligus pendiri Inlandsche Journalisten Bond (IJB) dengan tegas mengakui kedigdayaan Tirto.

“Raden Mas Tirto Adi Soerjo, seorang bangsawan asal jawa dan juga bangsawan fikiran. Bumiputra yang pertama kali menjabat jurnalis. Boleh dibilang Tuan T.A.S adalah induk jurnalis Bumiputra di tanah Jawa. 

Tajam sekali beliau punya pena, banyak pembesar-pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar suka memperbaiki kelakuan yang kurang senonoh,” tulis Marko dalam tulisan berjudul “Mangkat” yang terbit di Kabar Djawi Hisworo, 13 Desember 1918 atau sepekan setelah meninggalnya Tirto pada 7 Desember 1918.

“Tirto seorang jurnalis Jawa paling tua, pun beliau seorang Bumiputra yang pertama kali membikin NV. Syhur, antara keberaniannya mengusut prilaku sewenang-wenang,” tulis Marco lebih lanjut.

Marco sebagai murid setia dengan salut menjuluki gurunya. “Tirto Adi Soerjo adalah penggoncang Bumiputra bangun dari tidurnya.” Marco juga menyebut Tirto sebagai jurnalis cerdas, akrab dan paham tentang hukum yang berlaku.

“Seorang berselera seni dalam menghantam mesin kolonial dari mulai lurah sampai Gubernur Jenderal,” tulis jurnalis yang juga berkali-kali mengalami delik pers dan mengalami pembuangan masa Pemerintah Kolonial itu.

INVESTIGASI PENYALAHGUNAAN WEWENANG Satu kasus paling riuh yang ditangani Tirto Adhi Soerja adalah adalah perkara yang terjadi di Cangkrep, Purworejo. Duet Medan Prijaji dan Soeloh Keadilan dengan bahasa blak-blakan memuat persekongkolan jahat antara Aspiran Kontolir (Calon Pengawas) Purwerejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono ihwal pengangkatan Lurah Desa Bapangan.
Calon lurah yang tidak didukung warga keluar sebagai pemenang. Sebaliknya kandidat yang menjadi jagoan rakyat, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dengan dikenakan hukuman.

“Terbakar amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu, Tirto menyebut A Simon sebagai snotaap (monyet ingusan) dalam tulisannya,” ungkap Muhidin.

Investigas ini didukung 236 warga Desa Bapangan yang mengirim surat kepada Tirto. Mereka memberi dukungan kepada Tirto, jika kelak ada persoalan yang menghantamnya.
Investigasi Tirto yang juga menggemparkan pada 1902 saat menjadi jurnalis Pembrita Betawi. Ia tanpa ampun membongkar persekongkolan pejabat daerah yang terjadi di Madiun.

Residen Madiun JJ Donner berkonspirasi melengserkan Bupati Madiun, Brotodiningrat, yang juga kerabat dekat Tirto. Donner bekerja sama dengan Patih Madiun Mangoen Atmodjo dan Jaksa Kepala Madiun Adipoetra.

Berita yang diterbitkan berkala pada April hingga Agustus itu mengundang pemerintah Hindia Belanda mengutus Penasihat Urusan Bumiputra Snouck Hurgronje melakukan penyelidikan dan Donner terbukti bersalah.
“Kemenangan Tirto dalam kasus ini mencuatkan namanya dan diakui sebagai jurnalis muda yang berani, tabah dan informasinya benar,” tulis Muhidin. (Sambar)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak