Muhammad Ikhwan selaku ketua panitia pada kegiatan ini mengatakan bahwa seminar ini telah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan harapan dapat terciptanya ruang diskusi terkait parlemen dan kebijakan-kebijakannya. Peserta yang mendaftar sangat antusias yaitu 311 orang, namun yang bergabung dalam meeting room hanya 130 orang.
“Tujuan seminar ini yaitu merefleksikan MoU Helsinki dan pengidentifikasian terhadap stagnasi dan belum optimalnya pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Selain itu, juga untuk menghasilkan buah pikir terhadap kebijakan-kebijakan nantinya terkait implementasi pemerintahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak." - ujar T Muhammad Shandoya selaku Direktur SPMA
Seminar ini turut menghadirkan narasumber yaitu Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, S.Si., M.T. selaku Ketua Komisi 2 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Muhammad Nasir Djamil, S. Ag., M. Si. Sebagai Ketua Forbes DPR/DPD RI asal Aceh. Selain itu ada juga H. Fachrul Razi, M.IP selaku Ketua Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dan yang terakhir ada H. Dahlan Jamaluddin, S. IP selaku Ketua DPRA.
Sementara itu Fachrul Razi dalam kesempatannya menjelaskan bahwasanya pelaksanaan otonomi khusus yang masih setengah hati ditambah dengan pelaksanaan anggaran yang tidak optimal dalam mengembangkan potensi daerah.
Nasir Jamil juga menjelaskan bahwasanya Revisi UUPA ditargetkan pada tahun 2022, akhir ini DPR baru saja menyelesaikan Revisi Undang-Undang Otsus Papua. Dan pelaksanaan Desentralisasi Asmimetris haruslah bersifat sepenuhnya(fully).
Sementara itu Ketua DPRA mengatakan dalam acara ini bahwasanya ini bukan hanya sekadar refleksi, akan tetapi bagaimana pasca 16 tahun MoU Helsinki ini perdamaian Aceh tidak berada di persimpangan jalan dan bahwa perlunya sinkronisasi antara setiap kebijakan-kebijakan yg telah di susun dengan kebutuhan dan aktualisasi lapangan. Serta perlu nya penguatan terhadap lini sektor yg dirasa masih sangat lemah.